Quantcast
Channel: Egnaro Ekac
Viewing all 192 articles
Browse latest View live

Janda-Janda Di Umur Belasan

$
0
0
Terimakasih, Bapak.
Aku tak membencimu
Keadaan membuat kita begini
Esensi pernikahan
Hanya memperbaiki nasib

Tapi tahukah Bapak?
Bahwa keadaan takkan berubah
Posisi tawar kita tak kuat
Hanya bisa menunggu
Intelektual merasa keresahan
Dan memperbaiki nasib kita

Bapak, bukan semua salahmu
Aku tau kau mencintaiku tulus.

25/02/2015/23.06pm

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu waktu gue pergi ke barbershop dan menemukan seseorang muda dan menarik asyik berbincang-bincang dengan sang pemilik. Setelah doi pergi, gue bertanya dan pemiliknya langsung menjawab bahwa dia keponakannya dan baru saja bercerai dari suaminya. Holycrap. Belum sampai situ, sang pemilik ini bercerita bahwa umurnya masih 17 tahun. Sang janda belum punya anak, btw.

Kasus yang sama dengan penyanyi dangdut yang itu (dinikahi sebulan lalu ditalak tiga), tapi perbedaan nasib bukan jadi fokus di sini, tetapi bahwa praktek pernikahan di umur belasan masih sering terjadi. Hal ini harusnya menjadi pemicu sebuah studi, dan beberapa hasil studi yang gue temukan di google. Dan studi studi ini menggambarkan betapa kompleks masalah ini mulai dari pemikiran para orang tua, paradigmanya yang sudah umum (seakan-akan tidak ada rasa kemanusiaan!) hingga akibat-akibatnya di masyarakat. Kebanyakan angka pernikahan di bawah umur terjadi karena hamil di luar nikah, dan ini termasuk dengan desakan orang tua yang menikahkan anaknya. Beberapa akibat yang terjadi karena pernikahan di bawah umur menurut studi: KDRT, karena mental yang kurang siap untuk membangun rumah tangga. Resiko meninggal karena reproduksi, bahwa fisik yang muda dan belum matang berpotensi tidak siap. Terputusnya akses pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa orang menikah tak bisa mengikuti pendidikan.[1]

Sebelum gue mencari-cari hasil studi di google, sebenernya gue membuka sebuah diskusi di Facebook soal pernikahan di bawah umur ini. Dalam komentar-komentar yang gue terima, kita semua setuju bahwa pernikahan di bawah umur itu tidak relevan dengan zaman sekarang, namun kita berbeda-beda melihat akar permasalahannya. Ada yang berpendapat cuma soal pemikiran/pendidikan para orang tua. Gue waktu itu setuju bahwa masalah pendidikan dan kemiskinan adalah masalahnya. Pendidikan: karena orang tua masih merasa memiliki hak untuk menikahkan anak yang dirasa membebani orang tuanya, karena jika dinikahkan orang tua tersebut bisa membebankan ke pihak suami. Kemiskinan: mahalnya biaya pendidikan, kurangnya lapangan kerja atau lapangan kerja yang ada tidak relevan dengan sistem. Namun satu hal yang gue kecewakan adalah bahwa ada yang memaparkan solusi untuk menunggu, karena adanya proses jangka panjang dengan mengubah paradigma masyarakat umum dari pihak-pihak intelektual yang di kota untuk meluruskan paradigma-paradigma keliru di desa. Hell no, gue sama sekali gak setuju dengan ini. Harusnya kita bergerak secara masif untuk mengkampanyekan hal ini di masyarakat.

[1]BKKBN: Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi Di Indonesia, Dampak Overpopulation, Akar Masalah Dan Peran Kelembagaan Di Daerah.

*tulisan inni sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif

Hal-Hal Miris Tentang Proton

$
0
0
Oleh Mochammad IH

Isu nasional yang sempat jadi fokus masyarakat beberapa waktu adalah proyek mobil nasional bekerjasama dengan sebuah perusahaan Malaysia. Uni Lubis adalah salah seorang wartawan senior yang lalu lalang di beberapa stasiun tv, dan dia lagi dalam investigasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan mobil nasional. Salah satu hasil investigasinya bisa kalian simak di sini. http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/85851-nasib-mobil-listrik-di-era-jokowi

Dari mengikuti Uni Lubis, saya sendiri membuat kesimpulan tentang hal-hal miris tentang kenyataan bahwa presiden kita yang menyetujui proyek tersebut.

1. Mobil Nasional kenapa dibuat di luar negeri? Jadi dimana harga martabat bangsa kita? Harusnya mobil nasional dibuat di dalam negeri dan bahan-bahan produknya hasil domestik bukan impor.

2. Fakta bahwa ada jaminan negara untuk keringanan pajak, dan lain-lain. Ini menandakan bahwa barang-barang lokal tidak dilindungi, sehingga kemungkinan ada ketimpangan harga yang sangat besar.

3. Dengan begitu adanya tujuan untuk membuat bangsa Indonesia (yang rakyatnya lebih dari 200 juta itu) menjadi pasar konsumsi barang impor oleh tetangga kita sendiri. Padahal membeli barang impor di negara kita saat ini adalah sebuah kerugian negara.

Dengan seorang pejabat Orde Baru yang berada di belakang proyek ini, jelas proyek ini berbau politis. Jadi mari kita gagalkan proyek Proton dan buat mereka bangkrut dengan tidak membelinya.

*Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif

Bukan Cuma Butuh Irigasi

$
0
0
Oleh Mochammad IH

Setiap pagi, selalu hari
Hidup seperti tak melangkah
Lalu apa ada pilihan lain?

Hanya mencari air untuk berkebun
Jarak layaknya kembali purba
Ironi pada abad dua puluh
Lalu apa ada pilihan?

Terjebak di dataran ini
Penuh tandus dan takdir
Lalu siapa yang mau peduli?
Lebih baik hidup di tengah kaum urban

25/02/2015/23.06pm

--------------------------------------------------------------------------------------

Selama setahun ini karena socalled “tugas pendidikan”, saya menghabiskan banyak waktu di sebuah desa bernama Puri Semanding, Plandaan, Jombang. Yah, meskipun hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi di sana, namun faktanya hanya beberapa orang pribumi yang berkomunikasi dengan saya dan teman-teman.

Desa ini termasuk dataran tinggi, namun tandus. Sumber-sumber air, sungai-sungai ada, namun hanya sekeliling situ saja, tak merata. Sebagian besar area desa ini adalah pertanian, umumnya adalah padi. Namun jalan yang saya lewati setiap hari, saya menemukan bahwa mereka tidak menanam padi, tapi menanam palawija (yang cocok dengan tanah tandus). Sedangka tanaman padi banyak ditemukan di lahan-lahan yang dekat dengan sumber air. Lalu dimana mereka-yang-menanam-palawija mendapat air? Mirisnya mereka menimba air di sumber air atau sumur terdekat, yang kadang lumayan jauh dari lahan mereka. Mereka jelas tidak bisa menimba air dengan banyak, jadi harus bolak-balik menimba air seharian hingga lahannya bisa tercukupi dengan air. Namun setelah panen, apakah hasilnya sepadan dengan usaha mereka? Melihat rata-rata penduduk desa masih berada di garis kemiskinan, sepertinya tidak.

Hal yang sama juga saya temui di sebuah dusun di Wonosalam, saya lupa namanya. Sekilas melihat tanah mereka ditumbuhi dengan palawija, sepertinya mereka senasib dengan di Puri. Namun ini perlu studi lebih lanjut karena belakangan saya mendengar bahwa hasil utama yang membangun perekonomian Wonosalam adalah hasil perkebunan dan pariwisata, apalagi tiap tahun Pemda membuat agenda rutin bertajuk KenDuren, pesta panen buah Durian.

Dataran tinggi memang bebas banjir, namun selepas hujan, air tidak berhenti karena mereka mengalir ke dataran yang lebih rendah. Harusnya di tahun 2015 ini ada teknologi yang membuat mereka tidak kesulitan memperoleh air di dataran tinggi.

Sebagai alternatif lapangan pekerjaan sebenernya ada dua pabrik di daerah Jombang bagian utara. Yaitu di Ploso dan Kabuh. Namun saya mendapati pabrik tak dibangun di Plandaan, mungkin belum, saya tak tahu.

Kembali lagi ke bahasan awal, jadi apa yang bisa kita lakukan? Harapan saya, ada insinyur-insinyur yang terjun ke desa dengan rasa penderitaan yang sama dengan membuat program mandiri bersama masyarakat untuk mengatasi masalah ini.

Ketika isu kampus sebagai pabrik tenaga kerja kerah putih berhembus, saya yang tidak menempuh pendidikan formal pun kaget. Setelah kaget, lalu bertanya: kalo memang kampus sebagai pabrik tenaga kerah putih, bukan idealnya sebuah kampus lalu kampus yang ideal harusnya menghasilkan apa? Menurut saya idealnya, kampus menghasilkan kaum intelektual yang membereskan masalah-masalah seperti ini dengan proyek berbayar maupun proyek mandiri. Dan tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Karena kaum intelektual muda adalah harapan bangsa, siapa lagi kalo bukan anak-anak muda intelektual ini yang membangun bangsanya sendiri? Bukan menjadi kelas menengah dengan gengsi setengah mati, termakan gaya hidup hedonis.

*Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Subyektif

JURNAL SUBYEKTIF: Pandangan Subyektif Tentang Kriminalitas Di Mojoag...

JURNAL SUBYEKTIF: Petani Yang Makmur Dan Transformasi Lapangan Peker...

JURNAL SUBYEKTIF: Minimarket, Lapangan Pekerjaan Dan Studi Ilmiah

Catatan Kematian #1: Bila Aku Mati Muda

$
0
0
credit https://bayuindrap.wordpress.com/2014/03/04/soe-hok-gie-mati-muda/


Bulan Oktober adalah bulan yang istimewa bagi saya, dikarenakan saya lahir ke dunia di bulan ini. Tepat 10 Oktober 2015 kemarin, saya genap berusia 23 tahun. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini saya tidak meributkan bertambahnya umur sebagai sebuah aib. Entahlah, menurut saya meributkan hal seperti itu (lagi), seperti hal yang omong kosong. Mungkin karena pandangan saya tentang umur telah berubah dengan radikal 180 derajat. Juga pandangan politik saya, ah itu soal lain. Hal yang sia-sia juga menyebutkan hal bertambah-umur-bagai-aib, mungkin karena saya juga merasa berdosa dulu melakukan hal tersebut (meskipun tujuannya bercanda).

Bila aku mati muda, sebuah judul yang lumayan provokatif dan berpotensi menimbulkan polemik. Setidaknya itu asumsi saya sih. Tidak lain dan tidak bukan, tulisan ini akan mengkaji bagaimana saya memandang beberapa tokoh yang kebetulan singkat sekali mendapat kesempatan hidup di dunia. Tokoh-tokoh mati muda ini cukup beruntung masih dikenang hingga sekarang, bahkan beberapa orang membuat tulisan berisi kompilasi tokoh-tokoh yang mati muda[1]. Mungkin keberuntungan untuk dikenang itu pendapat yang cukup prematur, yang pada dasarnya adalah hasil dari usaha menjawab pertanyaan: Mengapa mereka dikenang? Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan semasa hidupnya hingga dikenang?

Guru saya sering bilang dalam berbagai pengajian, hidup itu seperti buku tulis. Lembaran-lembarannya adalah hari-hari kita. Apa yang kita lakukan pada hidup kita seperti kita menulis di dalam buku tersebut. Namun bliyo menekanken, hidup itu bukan soal panjang dan pendeknya umur, tapi kualitas hidup (bukan kuantitas hidup--bila memang perlu perbandingan). Kualitas hidup kita ditentukan oleh apa saja yang kita lakukan selama tinggal di atas bumi ini. Percuma jika berumur panjang tapi hal-hal yang kita lakukan setiap hari sama sekali tidak berkualitas. Pandangan hidup seperti inilah salah satu yang membuat saya memandang bahwa mati muda itu bukan perkara ingin terlihat keren dan berbeda, tapi ini soal bagaimana kita berkontribusi untuk masyarakat dan umat manusia pada umumnya.

Soe Hok Gie, aktivis tobat itu[2] adalah salah seorang yang mati muda. Menurut saya apa yang membuat ia dikenang dan hidupnya berkualitas namun singkat adalah bagaimana dia menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk kemajuan bangsa ini. Dan sampai sekarang tulisan-tulisannya, baik yang berbentuk buku, buku harian maupun kumpulan tulisannya masih dibaca dengan penuh minat oleh generasi sekarang (atau mungkin pembaca ingin disebut sebagai Generasi Y?). Kisah-kisah heroiknya sebagai aktivis mahasiswa (meskipun terdapat propaganda Orde Baru di dalamnya) terus didaur ulang dan terus menginspirasi banyak anak muda tiap generasinya.

Gie adalah salah satu contoh dari sekian banyak tokoh-tokoh yang mati muda. Masih banyak lagi tokoh-tokoh hebat yang mati muda, mulai dari WR. Soepratman, Rosa Luxemburg, Widji Thukul, para mahasiswa yang ditembak mati medio '98, Sondang[3] hingga Sebastian, seorang martir dan juga seorang aktivis buruh yang membakar diri pada Hari Buruh pada Mei 2015 ini[4].

Dari pandangan-pandangan radikal tersebut sudah terlihat jelas bukan soal lebih bahagia mati muda atau tidak, namun lebih terlihat pada kekhawatiran saya jika saya tidak mampu berkontribusi kepada dunia ini, umat manusia atau bahkan bangsa ini. Ini bukan ketakutan akan dilupakan ketika mati seperti para tokoh dalam film The Fault In Ourstars[5], hal ini hanya ketakutan saya bahwa hidup saya akan dijalani dengan sia-sia tanpa kontribusi apapun, hanya makan, minum dan tidur. Sepertinya ada obsesi tersendiri untuk menjadi orang besar dengan jasa yang besar pula. Bukankah guru kita mengharapkan kita menjadi seorang yang punya pemikiran yang besar?

Baiklah, kalimat terakhir dalam paragraf sebelumnya itu untuk kawan-kawan seangkatan saya. Para kawan politbiro[6] dalam organ angkatan saya sering mempropagandakan bahwa seluruh kawan-kawan adalah generasi para jenius-jenius dunia, para akademisi yang cemerlang, calon-calon tokoh yang merubah dunia. Mungkin propaganda ini salah satu faktor yang membuat saya mempunyai obsesi besar untuk menjadi besar. Ah, saya malu untuk mengakuinya. Tapi toh apa salahnya ingin menjadi orang yang merubah dunia?

Sebagai salam perpisahan, saya ingin mengutip Arista Ayu Nanda dan Andri Setiawan dalam majalah Lentera yang dibredel itu[7]. Mereka berdua menggambarkan dengan diksi bagaimana seseorang diingat dengan samar-samar.

"Keberadaannya tenggelam ke dalam memori masyarakat Salatiga. Terhanyut dalam bisingnya zaman, yang melena orang untuk melupakan kepingan sejarah dari tempat kakinya berpijak. Kisah seakan tak berarti, hanya menjadi cerita yang acapkali dianggap angin lalu."

[1] 15 tokoh ternama yang meninggal pada usia 27 tahun http://www.beritaunik.net/unik-aneh/15-tokoh-ternama-yang-meninggal-pada-usia-27-tahun.html
[2] Soe Hok Gie adalah aktivis pergerakan mahasiswa yang memimpin demonstrasi anti-PKI, menumbangkan rezim Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno dan mendukung serta membangun Orde Baru-nya Angkatan Darat dengan naif. Setelah dia mengetahui bahwa Orde Baru dibangun dengan pertumpahan darah, dia langsung membenci, mengkritik, dan melawan rezim tersebut hingga akhir hayatnya. Tulisan-tulisannya soal Orde Baru bisa dilihat dalam buku kumpulan tulisan Soe Hok Gie, Zaman Peralihan.
[3] Wawancara Imajiner Dengan Sondang Hutagalung https://www.facebook.com/notes/hotasi-simamora/wawancara-imajiner-dengan-sondang-hutagalung/10150453908624720
[4] Sebastian, Sampaikan Salam Kami Kepada Sondang http://www.rmoljakarta.com/read/2015/05/04/4408/Sebastian,-Sampaikan-Salam-Kami-untuk-Sondang-
[5] The Fault In Our Stars http://www.imdb.com/title/tt2582846/
[6] Politbiro berarti dewan eksekutif. https://id.wikipedia.org/wiki/Politbiro
[7] Pembredelan Majalah Lentera http://www.rappler.com/indonesia/110304-pembredelan-majalah-lentera

Smart Aleck

$
0
0


"Pada hakikatnya uang yang dimiliki para pemodal, orang-orang kaya itu bukan milik mereka."

Itulah kalimat pembuka sebelum kau memulai khutbahmu malam ini. Dua orang lelaki necis terlihat siap menyimakmu sampai habis. Kau membakar sebatang kretek filter beraroma mint, bibirmu yang berlipstik merah menghisap asapnya dan dari ekspresimu kau terlihat sedang menyusun kalimatmu selanjutnya.

"Kita pakai silogisme perputaran uang aja ya. Premis mayornya, barang-barang yang diproduksi buruh dilempar ke pasar menghasilkan uang. Premis minor, uang hasil pekerjaan buruh dipergunakan untuk membeli barang yang diproduksi. Konklusi, buruh memproduksi juga mengonsumsi barang produksinya."

Kau merubah pose dudukmu, kali ini punggungmu kau sandarkan pada bantal empuk di atas sandaran kursi rotan semi modern. Namun pandanganku sedikit terkesima pada lehermu yang terbuka dan rambut hitammu yang bergelombang. Lalu buru-buru aku mengalihkan pandang, malu terpergok oleh matamu.

"Kalau yang dikatakan daya beli rendah dari masyarakat menyebabkan roda ekonomi melambat, berarti perputaran uang gak lancar dong. Nah, penyebabnya apa daya beli rendah ini? Aku cenderung percaya jika masyarakat memiliki uang maka daya beli akan tinggi, jika tidak memiliki uang lalu dimanakah uangnya?"

Lelaki di sebelahku bertanya, lebih tepatnya mengonfirmasi penjelasanmu. Kamu memperhatikannya seraya meneguk secangkir kopi di depanmu.

"Iya. Para pemodal dan kaum borjuis itu yang memiliki uangnya. Mereka menahannya."

Kali ini kau bangkit dari sandaran kursi, mematikan bara kretek filtermu yang telah habis pada asbak berbahan gelas. Ekspresimu serius, aku sedikit bergidik.

"Kalau kenaikan gaji penyebab inflasi naik. Seharusnya jangan jumlah gaji buruh kecil terus yang diaudit, harusnya kita mengkritik pendapatan bos besar yang rasionya 200 kali lipat dari gaji anak buahnya.”

Kau pun menunjukkan sebuah laporan penelitian dari layar ponsel pintar untuk menguatkan argumenmu.

“Aku juga gak tau. Maksudku, sekarang setelah kita tau kita harus bersimpati pada buruh, aku juga tidak tau apa yang harus dilakukan. Itu membuatku frustasi.”

Aku tersenyum geli. Kau juga melakukan hal yang sama.

Bila Aku Dilupakan Setelah Mati (Catatan Kematian II)

$
0
0


Dalam film remaja The Fault in Our Stars[1], salah satu konflik internal para karakternya adalah bagaimana ia begitu takut dilupakan setelah ia mati. Kematian sudah pasti, namun penyakit kankerlah yang membuatnya terasa pasti. Ibarat ada sebuah sistem penghisapan, kita tak pernah merasakannya, namun di belahan lain ada orang yang merasakannya langsung dan menimbulkan reaksi. Namun film ini tak menghadirkan solusi yang mencerahkan menurut penulis, karena soal melupakan dan dilupakan itu dijawab dengan hal klise seperti orang-orang dan kerabat dekat saja yang mengingatnya. Atau mungkin para sineas, bahkan penulis novelnya hanya menggambarkan saja apa yang dirasakan dan reaksi orang-orang biasa[2] menghadapi kematian.

Dalam agama Islam, seorang manusia yang telah mati, eksistensinya dalam dunia materi hilang. Namun secara maknawi, ada manusia yang dinilai eksistensinya di atas bumi masih ada. Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa orang-orang tersebut ada tiga golongan:

"Tatkala telah mati manusia itu, putus amalnya kecuali tidak putus dari 3 amal, shodaqoh yang mengalir pahalanya, atau ilmu yang dimanfaatkan dengan dia, atau anak yang sholeh dia mendoakan kepadanya."[3]

Tiga golongan yang penulis tafsirkan adalah:
1. Orang-orang yang mengeluarkan shodaqoh yang mengalir (selanjutnya akan disebut shodaqoh jariyyah).
2. Orang-orang yang mempunyai ilmu yang bermanfaat, diamalkan dan diajarkan.
3. Orang-orang yang melahirkan anak-anak yang sholeh, anak-anak yang bagus hatinya.

Manusia Yang Mengeluarkan Shodaqoh Jariyyah.
Shodaqoh jariyyah adalah ibarat salah satu kunci yang membuka pintu ketakutan kita akan dilupakan di dunia. Seakan-akan orang-orang yang mengeluarkan shodaqoh jariyyah ini tidak mati, ia seakan-akan hidup panjang, beramal terus di dunia. Menurut penulis, ia seakan-akan tak akan pernah dilupakan di dunia ini karena shodaqoh jariyyah itu. Lalu apa saja macamnya shodaqoh jariyyah itu?

Medan atau cakupan sedekah jariyyah dapat diperluas ke berbagai bidang selama masih bermanfaat bagi generasi mendatang. Dalam hal ini bidang keagamaan seperti membangun masjid, musholla. Bidang sosial seperti membangun lembaga yang melindungi orang-orang fakir miskin, anak-anak yatim dan terlantarkan. Bidang pendidikan seperti membangun pesantren, sekolah, lembaga pendidikan. Bidang kesehatan seperti membangun rumah sakit, klinik kesehatan, pengobatan gratis, dll[4].

Dalam hal ini kontribusinya sangat nyata[5], manusia yang mengeluarkan shodaqoh jariyyah adalah manusia yang takkan pernah dilupakan di dunia ini. Tulisan selanjutnya akan menjelaskan golongan kedua dan ketiga.

[1] The Fault in Our Stars www.imdb.com/title/tt2582846/
[2] Biasa dalam kalimat ini, ia bukan orang yang terkenal.
[3] Kitab Jami'ush Shoghir, Abdur Rohman Jalaludin as-Suyuthi. Bab huruf Alif halaman 56.
[4] Apa Saja yang Digolongkan Amal Jariyah? Bahtsul Masail, Maftukhan [2015]. Situs resmi Nahdlatul Ulama. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,59-id,56977-lang,id-c,bahtsul+masail-t,Apa+Saja+yang+Digolongkan+Amal+Jariyah+-.phpx
[5] Lihat Catatan Kematian #1, Mochammad IH [2015]. http://orangeofcake.blogspot.com/2015/10/catatan-kematian-1-bila-aku-mati-muda_31.html

Buku dan Saya

$
0
0


Ada cerita yang panjang tentang perjalanan 'membaca' saya. Ada kegelian sendiri kalau mengingatnya, kadang juga sedikit 'perih' ketika memang ada satu-dua cerita yang memang dalam sekali dan membentuk saya seperti sekarang ini. Yah, meskipun baru mengawali usia dua puluhan, masih terlalu dini untuk bercerita, itupun kalau saya tidak mati muda.

Dibesarkan dalam perantauan, membuat saya 'dialienasikan' dari kemajuan peradaban. Tepatnya--seingat saya Kecamatan Cempaka, dekat dengan kota Martapura tapi sepertinya masuk dalam Kabupaten Banjarbaru waktu itu, tepatnya di SECATA – RINDAM VI – TANJUNGPURA – Kalimantan Selatan. Bisa disebut dengan pedalaman tempat itu sebenarnya, karena jalan aksesnya melewati perbukitan hutan yang kalau malam bisa sangat menakutkan karena hampir tidak ada penerangan jalan. Asramanya cukup luas, saya ingat sekali cukup lama tinggal di kompleks yang paling belakang sehingga berdekatan dengan hutan.

Sebenarnya saya lahir di Kuala Kapuas(Kalimantan Tengah), kemudian ayah pindah tugas ke Banjarbaru itu tadi. Tak ada ingatan tentang Kuala Kapuas yang saya ingat sama sekali, ini bisa dimaklumi karena pindah ke Banjarbaru saya masih sekitar balita.

Tinggal di pedalaman pada waktu kecil, akses untuk mendapatkan buku hampir tidak ada. Tetapi saya ingat ada saudara sepupu yang tinggal satu provinsi, namun akses untuk mampir tidaklah cukup dekat. Kemudian mereka ini berbaik hati untuk memberikan koleksi lama majalah anak-anak bernama Bobo seluruhnya kepada saya. Saya senang sekali waktu itu, meskipun banyak sekali hal-hal di Majalah Bobo yang belum saya mengerti waktu itu. Hanya cerita bergambar saja yang saya baca. Maklum, masih kecil.

Menginjak kelas 4 SD, saya pindah ke Sampit (Kalimantan Tengah) setelah konflik suku Dayak-Madura berada di tahap rekonsiliasi. Meskipun berada di pusat kota, akses untuk membaca buku belum bisa saya dapatkan, bisa dimaklumi karena Sampit habis terlanda konflik suku jadi pembangunan sempat terhenti. Entah Sampit medio sekarang bagaimana, karena sempat saat pulang liburan ke sana medio 2010, saya sempat membeli novel Dan Brown bajakan di salah satu ruko pusat kota yang bahkan tidak khusus menjual buku. Seingat saya, saat SD hanya Majalah Bobo yang jadi bacaan saya, selain beberapa majalah hibah dari anak komandan ayah saya.

Pergi menuntut ilmu ke Jombang (Jawa Timur) pun tak melebarkan bacaan saya. Yah, mungkin ada perpustakaan yang koleksinya cukup banyak di sekolah saya. Namun hampir tak ada hal yang menarik minat baca, karena mungkin masalahnya adalah tak ada semacam pengantar, pendahuluan, briefing, pembekalan darimana kita mulai membaca. Saya ingat sekali di perpustakaan waktu itu mendapat hibah majalah Tempo yang cukup banyak.

Kemudian perkenalan saya kepada novel, adalah ketika mengenal seseorang yang koleksi bukunya cukup banyak waktu itu, maklum ia termasuk orang berada. Ia berbaik hati meminjamkan saya novel-novelnya, hingga pada suatu waktu hubungan kita berdua tak begitu baik yang reaksinya membuat saya kehilangan akses bacaan-bacaan yang menarik. Hal yang disesali memang, namun dengan perkenalan itulah membuka wawasan tentang buku apa yang saya cari di hidup ini.

Sempat saya pergi ke Surabaya untuk mencari pusat toko buku bekas. Seingat saya tempat itu berada di dekat stasiun yang cukup besar bernama Stasiun Pasar Turi. Hanya 2 kali saya kesana, mendapatkan Perahu Kertas-nya Dewi Lestari dan sebuah buku motivasi bisnis. Meskipun cukup kumuh namun koleksinya banyak sekali, namun karena jauh dan tak ada kawan yang bisa dipakai tempatnya untuk istirahat, saya urung untuk kembali kesana.

Sempat juga membeli buku-buku secara online, namun karena ongkos kirim yang lumayan mahal dan koleksi yang sedikit, saya jadi tidak membeli lagi.

Kota sekelas Jombang waktu itu hanya mempunyai satu toko buku yang cukup terkenal. Kemudian toko buku Toga Mas membuka cabang di sana. Karena hampir tak pernah punya budget untuk membeli buku gres-baru yang cukup mahal waktu itu hingga akhirnya membeli buku-buku teknis teknis tentang software. Yah, saya ini memang generasi teknokrat, yang kebodohannya cukup bebal waktu itu. Namun toko-toko buku Jombang koleksinya memang cukup sedikit, sehingga harus pintar menyiasati bacaan, apalagi budget pun tak seberapa.

Pada suatu waktu saya cukup galau untuk memilih antara buku dan fashion. Masalah penampilan menjadi hal yang cukup urgensi pada waktu itu, apalagi saya akrab dengan seseorang yang memang dekat dengan hal ini. Fashion menjadi kiblat saya waktu itu, hingga saya juga membuat sebuah clothing sendiri, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Banyak uang keluar namun tak timbal balik yang bagus, hingga saya kapok dan mencari alternatif fashion yang murah. Maklum, anak perantauan.

Lalu keaktifan saya mengikuti para aktivis di sosial media membuat saya menemukan lagi hal-hal yang minimal harus dan wajib dibaca oleh generasi muda Indonesia. Saya mengenal Pramoedya Ananta Toer dan generasi-generasi sastrawan Lekra, generasi-generasi Eka Kurniawan (Puthut EA, Linda Christanty, terakhir saya membeli buku Makhfud Ikhwan), generasi-generasi sastra klasik Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, generasi-generasi baru sastra non-Raditya Dika, dll. Meskipun nama-nama itu besar dan panas, namun tak semua bukunya saya peroleh karena budget. Sungguh masalah yang klasik.

Hari ini, saya selalu ingin membeli buku dan membacanya. Meskipun budget memang harus rajin-rajin dikumpulkan dahulu. Tabique.

Rumah dan Racauan

$
0
0




“Bang. Aku otw.”

Begitu ketiknya dalam aplikasi obrolan elektronik di ponsel pintar bermerek Jepang. Namun yang dimaksud “otw”, kependekan dari on the way—“dalam perjalanan” adalah duduk santai di atas bangku kayu bermotif ukiran Jawa menunggu pesannya dibalas oleh Gilang. Untuk sekedar konfirmasi, pikirnya. Bangku kayu tersebut berada dalam ruang tamu yang cukup lengang, didekatnya ada sebuah meja dengan ukiran Jawa pula—satu set dengan bangku kayunya. Ia duduk sendirian. Sesekali terdengar suara beberapa tetangga yang saling bersahutan dengan motor yang lalu-lalang di gang depan rumah tersebut.

Rumah itu didapati Komar—nama panggilan si pemuda, kosong tak ada penghuninya. Ia celingak-celinguk mencari empunya rumah namun nihil hasil. Sempat ia menghujat dalam hati kebebalan kawan-kawannya yang tak menjaga rumah ini dengan benar dengan membiarkan pintunya terbuka. Lalu, Komar juga khawatir barangkali ada tetangga rumah yang mampir mencari orang-orang hilang tersebut dan mendapati wajah Komar yang asing layaknya maling. Meskipun terkesan tanpa alasan jelas, namun kekhawatiran ini berdasarkan intesitas kehadirannya di rumah itu cukup bisa dihitung dengan jari dalam 3 bulan terakhir. Lagipula bila tak ada kepentingan, ia enggan untuk main kemari. Tak ada kawan ngobrol yang asyik, batinnya menyahut. Hari ini pun ia hanya membutuhkan beberapa lembar kertas hvs untuk dicetak di rumah Gilang. Gilang mengaku hampir tak ada lembaran kertas di rumahnya—sesuatu yang dibuktikan Komar belakangan dan meminta si pemuda untuk mengambil kertas secukupnya di rumah ini.
 
Rumah itu adalah hunian merangkap kantor sekretariat organisasi persaudaraan kawan-kawan seangkatan Komar berkuliah. Pemiliknya adalah Fir, seorang pemuda kurus asal Jakarta yang sejak kecil mondok di Jombang. Rumah itu aslinya adalah milik ayah Fir, yang tiap bulan seringkali singgah untuk menghadiri pengajian. Fir menghuni rumah itu kurang lebih 5 tahun ini, begitu yang Komar dengar. Ia tinggal bersama dua saudara jauhnya dan dua kawan yang ikut tinggal. Beberapa kawan seringkali bermain ke sana untuk meramaikan rumah, terakhir mereka berpesta sate kambing dan sapi saat lebaran kurban—Komar bahkan menjadi korban betapa alotnya daging hasil panggangan mereka. Dulu sempat ada gazebo di samping rumah, namun beberapa minggu yang lalu dibongkar untuk garasi mobil. Rumah ini dulu cukup gelap karena hanya sebagian rumah saja yang dicat, lalu Fir mengecat rumah ini dengan warna hijau lumut terang beberapa waktu lalu.

 Ada sebuah lukisan—mural lebih tepatnya, di dinding kamar tamu, Komar sempat menjadi saksi pembuatannya. Pelukisnya adalah Arie, seorang pelukis muda berbakat yang aktif di komunitas pelukis Jombang. Fir mengaku, bahwa ia tidak menyuruh Arie, namun si pemuda berkulit hitam itu sendiri yang meminta Fir untuk melukis dinding ruang tamunya. Kalau Arie sedang banyak masalah, ia bakal cari pelampiasan seperti ini, tambahnya. Awalnya Komar—dengan niat bercanda, merendahkan hasilnya pembuatannya. Lalu dijawab dengan santai oleh Arie, bahwa Komar hanya melihat awal dari sebuah proses. Dan beberapa hari kemudian ketika Komar mampir ke rumah itu, ia dibuat terkagum-kagum dengan hasilnya. Sebuah mural landscape yang menampilkan keelokan sebuah senja kala sore hari.

Seharusnya rumah ini diberi nama panggilan, usul Komar dalam pikiran. Si pemuda teringat pada nama rumah cum-sekretariat milik angkatan kakak kelasnya di sebelah rumah kosnya. Sekretariat masing-masing angkatan memang hal yang cukup lumrah dan menjadi sebuah kebutuhan bagi pengenyam pendidikan di sini. Rumah itu dipanggil Delapan Enam (86), inisial acara reality show televisi yang cukup ramai diperbincangkan. Ini tak lepas dari isi acara yang meliput kegiatan kepolisian negeri ini yang seringkali—menurut Komar dipenuhi dengan drama-drama yang tak perlu. Komar merasa miris menerima kakak kelasnya memuja aparat kepolisian cukup tinggi begitu. Padahal faktanya, kepolisian adalah alat kekerasan negara. Si pemuda mengingat betapa brutal kepolisian membubarkan demonstrasi serikat buruh di depan Istana Negara beberapa waktu lalu,merusak sebuah mobil komando dengan batang bambu dan menendangi serta menangkap puluhan aktivis buruh. Apalagi baru-baru ini kepolisian juga terlibat kekerasan saat membubarkan  demonstrasi damai para mahasiswa Papua di bundaran Hotel Indonesia, berujung ditangkapnya 300 orang mahasiswa ras Melanesia dan seorang bapak berdarah Tiongkok yang ternyata korban salah tangkap. Alasan pembubarannya terlalu klise, hanya karena telat mengirim berita acara pada kepolisian. Meskipun diwarnai dengan nuansa politis bahkan terkesan membawa isu separatisme, menurut Komar kekerasan tak perlu dilakukan apalagi bagi negara yang mengaku menjunjung demokrasi. Di lini masa media sosial, Komar bahkan mendapati kritik bahwa kepolisian bersikap standar ganda menangani demonstrasi. Pemberi kritik membandingkan demonstrasi para fundamentalis agama beberapa waktu lalu yang mendukung monster pembawa perang sektarian di Timur Tengah. Demonstrasi fundamentalis agama ini tidak ‘ditertibkan’ oleh kepolisian, meskipun ancamannya nyata terhadap keutuhan NKRI—isu yang sering dihembuskan para elit militer.

Usul nama yang dipikirkan oleh Komar adalah Vanguard. Nama ini oleh Komar dirampok dari nama panggung salah seorang rapper cum-aktivis dari grup hip-hop legenda musik bawah tanah di Bandung. Sang rapper cukup keras mengkritik aparat pemerintah karena ideologi anarki yang dianutnya selama ini. Komar berharap rumah ini menjadi sebuah komune, seperti cita-cita para anarkis yang tak menghendaki kekuasaan hanya dimiliki oleh seorang atau segelintir manusia saja. Di komune, manusia-manusia akan mengorganisir diri dan bekerja sama dengan kepastian bahwa semua orang memiliki hak dan kekuasaan yang sama sehingga tak terjadi penindasan. Para anarkis percaya bahwa kekuasaan adalah penyebab penindasan manusia atas manusia. Kadang karena kepercayaan inilah, para anarkis disebut oleh Soe Hok Gie sebagai nihilis—penganut pemikiran Nietzche. Bahkan mereka disebut utopis karena ingin menghapuskan negara—kekuasaan paling tertinggi, namun hal ini seringkali dibantah oleh mereka karena sistem masyarakat komunal manusia yang dicita-citakan oleh mereka eksis sejak spesies bernama Homo Sapiens hadir di bumi, bahkan sampai sekarang sistem ini masih ada dan hidup di masyarakat-masyarakat tradisional negeri ini, meskipun jelas sekali terancam monster modernisme bernama kapitalisme.


Cukup lama Komar menunggu pesan elektronik balasan dari Gilang. Sejak awal ia memutuskan membunuh waktu dengan memperhatikan lini masa media sosial. Beberapa pengguna yang diikutinya masih berkutat dengan berita penangkapan mahasiswa Papua, ada juga tentang isu HIV/AIDS dan isu Kekerasan Terhadap Perempuan dan beberapa twit-twit lucu khas kelas menengah. Ada beberapa berita tentang advokasi buruh yang di-PHK sejak ramai Mogok Nasional lalu dan yang membuat si pemuda berambut tipis ini sedikit terkejut adalah dua acara seminar yang akan dilaksanakan di dalam satu kampus terkenal di ibukota. Masing-masing membahas dua ideologi yang digelutinya selama ini: anarkisme dan marxisme. Tak lama Komar mencuit hal tersebut dengan nada gembira.

Ia membuka profil akun media sosialnya, melihat cuitannya yang rata-rata membahas isu-isu kelas kecil. Komar memang aktivis jempol, sebuah sebutan untuk para aktivis yang hanya bersuara di jejaring media sosial, yang tak pernah terjun langsung di lapangan—meskipun tak semuanya. Ia geli sendiri menemukan julukan itu, dan terkesan bangga. Namun suatu hari ketika ia telah menyelesaikan pendidikannya, Komar berjanji akan terjun langsung seperti aktivis-aktivis revolusioner lainnya—kalau tidak mustahil, Komar ingin menjadi Che Guevara selanjutnya.

Komar seringkali berpikir bahwa dirinya jadab, cemoohan yang akrab dari kawan-kawannya untuk orang yang berbeda arah dalam ideologi maupun sikap. Padahal sebenarnya istilah itu di dunia sufisme digunakan untuk orang-orang mengaku kekhalayak umum bahwa dirinya menyatu dengan Tuhan—lalu dituduh syirik dan berakhir dihukum penggal seperti Al-Hallaj. Kadangkala cemoohan itu digunakan untuk kawan-kawan yang mempertanyakan tentang Dzat bernama Tuhan secara berlebihan, satu hal yang tak boleh didiskusikan secara umum. Komar berpikir pantas mendapat julukan jadab, karena dirinya dalam setahun terakhir mempelajari ideologi kiri dan menganggapnya benar, sesuatu yang cukup tabu di negeri ini. Apalagi dengan stigma “tak bertuhan” yang dicap berpuluh-puluh tahun dan jelas sangat kontras dengan tempat dimana Komar mengenyam pendidikan—agamis.

Namun Komar membela diri bahwa ketertarikannya pada ideologi kiri tak jauh dari hal-hal yang selama ini diajarkan gurunya yang agamis bertahun-tahun, tentang keberpihakan kepada kaum yang lemah dan tertindas. Ia melihat sendiri bagaimana kemiskinan membunuh rakyatnya pelan-pelan, bagaimana beberapa orang yang dijumpainya dalam kegiatan penjelajahan desa—penyaluran amal shodaqoh, tinggal di rumah-rumah tak layak—yang bahkan tak pantas disebut rumah karena ketidaklayakannya. Seringkali “rumah-rumah” itu hanya mempunyai luas tiga kali tiga meter persegi, yang diisi hanya sebuah dipan kayu untuk istirahat—seperti kamar kosnya, namun lebih kumuh dengan barang-barang dan berlantai tanah. Karena itu Komar selalu berpihak pada korban sejak dalam pikiran.

Beberapa saat kemudian Rendi, salah satu adik Fir datang. Pemuda tanggung itu sedikit kebingungan memarkir sepeda masuk ke garasi, karena ada motor Komar yang menghalangi jalan. Komar menunggu raut wajah yang kesal dari Rendi, namun ia hanya mendapati wajah Rendi yang naif. Lalu Komar tanpa berbasa-basi langsung menjelaskan keadaan rumah yang tak ada siapapun dan menceritakan alasannya kemari. Setelah berbasa-basi sedikit, Rendi langsung masuk ke rumah dan meninggalkan Komar menunggu di ruang tamu. Seketika itu juga Komar mendapat balasan pesan singkat dari Gilang. Maka dengan sigap ia memasukkan ponsel pintarnya ke dalam kantong celana dan melangkah gontai menuju motornya. Tak lupa Komar berpamitan pada Rendi yang sedang menikmati minuman bersoda di depan televisi—entah bisa disebut berpamitan jika yang dilakukan Komar adalah adalah menyeru kepada Rendi memberitahu dirinya akan pergi dan dibalas dengan sahutan kecil.

Begitulah Komar pergi dari rumah itu dan ia memutuskan tak memanjangkan racauannya di jalan raya, takut mengalami kecelakaan bermotor. Ia bergidik ngeri membayang pada kejadian seminggu terakhir, ketika ia mendapati hampir setiap hari ada orang meninggal di jalan-jalan. Orang-orang mistik Jawa percaya, bahwa bulan kedua dalam kalender Jawa adalah bulan yang penuh balak—nasib buruk yang menghampiri manusia. Komar bahkan tak sempat melanjutkan lamunannya karena si pemuda sempat tersasar untuk menemukan rumah Gilang.***

2015-12-04

Membaca Bumi Manusia: Sebuah Pengalaman

$
0
0


Oleh : Mochammad IH

Judul Buku:
Bumi Manusia

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
538 halaman

Bumi Manusia adalah judul babak pertama dari Tetralogi Buru, sebuah karya fenomenal dari seorang Pramoedya Ananta Toer. Mengapa fenomenal? Menurut hemat saya:

Pertama, novel ini mengantarkan Pram (panggilan akrab beliau) untuk dikenal luas sebagai sastrawan dunia. Bahkan beliau adalah sastrawan Indonesia pertama yang paling dikenal di dunia dengan berbagai macam penghargaan, tetralogi ini diterjemahkan ke berbagai bahasa, bahkan diwajibkan dibaca di sekolah menengah salah satu negara. Kedua, setelah sempat beredar di Indonesia dengan jangka waktu yang pendek, lalu kemudian seluruh tetralogi ini dilarang oleh pemerintahan Orde Baru. Miris memang, ketika di luar negeri novel ini menjadi bacaan wajib, di negerinya sendiri ia dilarang dibaca, Pram bahkan mengakui hal tersebut. Ketiga, tetralogi ini dibuat pertama kali saat Pram dipenjara di Pulau Buru selama 10 tahun (Agustus 1969 - 12 November 1979), maka dari itu tetralogi ini disebut dengan Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi ini seperti menjadi hal yang wajib untuk seorang Indonesia mengenal dunia sastra bangsanya sendiri, jadi semacam tidak afdhol bila belum membaca Tetralogi Buru.

Di umur ke dua puluh tiga saya baru sempat untuk membacanya, apakah bisa dibilang terlambat? Entah. Berlatarbelakang jaman kolonial Hindia Belanda pada awal-awal jaman pergerakan, awalnya saya kira roman ini akan membosankan, namun Pram menggambarkan sebuah dunia yang baru yang menarik saya mempelajari bahwa negeri ini dulunya seperti ini. Saya bisa menangkap bahwa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu tak jauh berbeda dengan pemerintahan negeri kita sekarang: pertentangan kelas antara priyayi yang diwakili para elit (pemerintahan maupun kaum pemodal), pribumi yang diwakili orang miskin yang ditindak sewenang-wenang dan kulit putih yang diwakili mental inlander bangsa ini. Meskipun ada begitu perbedaan dengan adanya isu-isu seperti rasialisme, fasisme, superiotas bangsa tertentu dan berbagai isu lainnya yang meungkin tidak relevan dengan jaman sekarang. Namun perbedaan-perbedaaan tersebut terasa tidak berarti dimana saya menangkap bahwa bangsa ini seperti jalan di tempat dalam perjuangan untuk merubahnya.

Mingke, hero dalam tokoh ini adalah seorang priyayi yang melakukan bunuh diri kelas. Dalam novel ini dijelaskan ia melakukan hal tersebut karena muak dengan budaya Jawa yang patriarkis dan feodalis. Begitulah memang, isu-isu yang beredar sebelum saya berhasil membaca novel ini adalah Jawa yang digambarkan oleh Pram begitu sangat dibenci oleh orangnya sendiri. Latar belakang Mingke memang membenarkan hal tersebut, bagaimana ia membenci budaya leluhurnya karena hidup diantara nilai-nilai universal kaum Eropa, meskipun ini sangat kontras karena ia berhadapan dengan superiotas kulit putih. Namun Bumi Manusia adalah awal, jadi bibit-bibit pergerakan kemerdekaan dari diri para priyayi dan pribumi bahkan Mingke sendiri belumlah muncul, mereka masih menerima bangsa Londo untuk memerintah orang-orang di negeri ini. Apalagi si tokoh utama sendiri masih berumur belum genap dua puluh tahun. Yah, meskipun ini tidak bisa dinilai kematangan, karena dalam sejarah: Semaoen berumur tujuh belas tahun saat pertama kali diangkat menjadi ketua umum Partai Komunis Indonesia, partai yang pertama kali melakukan pemberontakan terhadap Hindia Belanda pada zaman pergerakan. Namun bibit-bibit kemerdekaan itu mulai ditanam ketika isu-isu yang dibawa oleh keluarga de La Croix, penyebutan Max Havelaar karya Multatuli yang begitu didambakan, kecenderungan Mingke untuk suka terhadap salah satu guru sastra yang progresif, dan sebagainya. Namun Mingke masihlah kelas priyayi yang mendapat keistimewaan dalam budayanya dan tidak berhadapan dengan kesulitan yang teramat-sangat dari kelas bawah seperti pribumi. Meskipun begitu, Mingke mengalami kehilangan yang tidak bisa dinilai biasa di babak akhir cerita.***

Nomor-Nomor Halaman Mading yang Hilang

$
0
0

Oleh: Mochammad IH

Sekumpulan anak-anak remaja berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Sepertinya mereka melangkahkan kakinya cepat-cepat, mungkin karena terik cahaya matahari cukup menusuk pada hari Jum'at ini. Cukup bisa dimaklumi karena waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang, dimana matahari tak segan untuk menunjukkan kuasanya atas hari-hari di bumi. Salah satu remaja perempuan pada kelompok tersebut tiba-tiba merindukan gerombolan Kumulonimbus menantang sang surya dan meneduhkan perjalanannya. 'Syukur-syukur bila terjadi hujan badai,' pikir perempuan itu.

Kini mereka telah sampai di tempat yang dituju, sebuah kompleks ruangan kelas yang memanjang. Orang-orang menyebut kompleks tersebut dengan nama Lokal Timur. Ruangan ini terbagi menjadi tiga ruangan belajar-mengajar yang dibatasi oleh sekat permanen, dua buah ruang kantor untuk para guru dan sebuah ruangan yang penuh dengan komputer. Tak ada siapa-siapa di Lokal Timur, maklum saja hari Jum'at adalah hari libur sekolah itu. Hanya sesekali sekelompok anak-anak kecil laki-laki lewat berpakaian rapi, lengkap dengan sarung, peci hitam dan sajadah yang dililitkan ke leher, sepertinya mereka pergi menunaikan sholat Jum'at. Mereka tak berhenti berceloteh meskipun cuaca semakin panas saja.

Satu-satunya remaja lelaki yang berada dalam kelompok remaja di atas telah sibuk mencabuti lembaran-lembaran kertas yang berada pada sebuah lemari kayu yang dilapisi kaca. Lemari itu dibuka olehnya dengan kunci kecil yang penuh bintik-bintik karat, dan ada gantungan berbentuk buah pisang yang ukurannya cukup kontras dengan kunci yang digantunginya. Salah seorang remaja perempuan yang berkerudung tergerak maju untuk membantunya mencabuti lembaran-lembaran itu. Dua remaja perempuan lainnya hanya diam memandang dua orang itu, wajah mereka memancarkan kelelahan.

"Lho, Geri. Yang itu jangan dicabut," seru perempuan yang membantunya sedari tadi, kini kerudung merah kelabunya hanya dililitkan di lehernya. "Kamu mikir apa sih?"

Dengan kikuk, lelaki bernama Geri itu pun memasang kembali huruf-huruf berbahan flanel yang berwarna-warni cerah yang ia cabut. Geri terbayang dengan anak-anak kecil laki-laki yang berangkat menunaikan sholat Jum'at di masjid, sedang dirinya membolos tidak mengikuti ritual wajib tersebut. Ia mencoba menghitung berapa kali ia membolos, namun tidak ada angka yang pasti karena tak terhitung jumlahnya. Geri membolos bukan tanpa alasan, setiap Jum'at siang ia bersama awak redaksi majalah dinding—mading sekolahnya menerbitkan edisi baru majalah. Mengapa tidak memilih hari selain Jum'at? Karena kegiatan di luar sekolah awak redaksi sudah sangat penuh dengan kursus setiap harinya. Malam pun tidak bisa, karena waktunya tidak memadai. hanya hari Jum'at yang kosong dari jadwal.

Geri orang yang perfeksionis, kalau ia tak datang, maksudnya berkumpul dengan awak redaksi untuk memasang edisi baru mading, ia tak bisa mengontrol standar tertentu dalam menerbitkan mading edisi terbaru. Standar yang ia peroleh dari sebuah pembekalan yang diadakan sekitar 2 tahun yang lalu. Hal ini membawa Geri pada nostalgia singkat pada awal-awal ia mengemban tugas sebagai redaksi mading sekolah.

Acara pembekalan itu dilatarbelakangi oleh ketiadaan pengalaman para awak redaksi yang baru. Seminggu setelah terpilih, ia dan awak redaksi yang lain harus membuat edisi baru tanpa tau apa yang harus dilakukan. Kegelisahan Geri dan para awak redaksi lainnya ini bergolak seperti air yang mendidih, mereka rata-rata geram bercampur bingung terhadap sikap awak redaksi sebelumnya yang meninggalkan mereka dalam ketidaktahuan dan ketidakpastian. Lalu dalam suatu rapat, ide untuk mengadakan pembekalan muncul. Entah dari mana ide itu muncul, Geri sudah lupa, namun pemuda kurus ini ingat kalau teman-temannya saat itu harus memilih diantara dua guru Bahasa Indonesia senior di sekolahnya untuk mengisi pembekalan, Pak Indra dan Pak Sugeng. Namun pilihan akhirnya jatuh pada Pak Indra, karena para awak redaksi lebih akrab dengan nama itu.

Pak Indra adalah orang yang sibuk, begitu kesan pertama Geri saat ia dan dua temannya menyampaikan maksud untuk meminta Pak Indra untuk mengisi pembekalan. Selain mengajar beliau juga aktif dalam organisasi lembaga keagamaan yang bergerak di bidang kemanusiaan waktu itu. Jadi waktu adalah hal yang sangat berharga bagi beliau, sedang remaja-remaja semacam Geri dan para awak redaksi seringkali tidak bisa diajak serius. Pada akhirnya Pak Indra setuju meluangkan waktunya, perasaan lega menghampiri hati Geri dan kawan-kawannya.

Lalu hari H pun tiba, para remaja lelaki dan perempuan berpakaian rapi duduk manis di ruangan penuh komputer. Geri mengingat, waktu itu para awak redaksi masih bisa dihitung lebih dari sepuluh, kontras dengan keaktifan awak redaksi yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan sekarang. Sesaat kemudian Pak Indra pun datang, dan dengan sedikit basa-basi—bahkan hampir tidak ada basa-basi sama sekali, beliau memulai pembekalannya.

Sebuah fotokopian makalah dibagikan satu persatu kepada peserta. Kelihatannya makalah itu diambil dari sebuah buku, karena ada beberapa paragraf kalimat yang tak relevan dengan topik majalah dinding. Makalah itu berisi syarat dan prasyarat untuk media disebut sebagai majalah dinding. Lalu Pak Indra pun mulai menerangkan satu persatu, diawali dengan sebuah kalimat untuk menggambarkan majalah dinding secara sederhana.

“Sebenarnya majalah dinding itu sama saja dengan majalah-majalah pada umumnya,” ujar Pak Indra santai. “Yang membedakan hanya medianya saja, biasanya majalah memakai media kertas, namun majalah dinding memakai media dinding.”

Lalu satu persatu Pak Indra mulai menerangkan tentang nama, halaman, pengantar redaksi hingga daftar isi. Sejak hari itu Geri dan awak redaksi seperti mendapat sebuah lentera dalam kegelapan. Mulailah mereka berjalan menyusuri kegelapan dengan membuat edisi-edisi mading menurut standar yang dikemukakan Pak Indra, meskipun Geri sangsi para pembacanya memperhatikan hal-hal ini, bahkan awak redaksinya mungkin banyak yang tak mengikuti standar ini.

Hal yang paling seru diantara nostalgia itu adalah menentukan nama mading kesayangan mereka. Geri mengingat seluruh awak redaksi masing-masing mengusulkan nama, bahkan Sanah, perempuan yang membantu Geri mencabuti dan mengeluarkan edisi lama mading, mengusulkan lima nama sekaligus yang sayangnya semua ditolak. Nama yang diusulkan Geri pun ditolak. Dan pada akhirnya setelah 2 jam berkonsolidasi, para awak redaksi memutuskan nama AKSI! sebagai nama majalah mereka, akronim dari Ajang Kreatifitas Kita. Geri tidak bisa mengingat siapa yang mengusulkan nama itu pertama kali.

Sepanjang pengalaman menjadi redaksi Mading Aksi! Geri merasa hal yang paling membutuhkan kesabaran adalah membuat daftar isi. Ini dikarenakan seluruh bahan-bahan mading dicetak, disortir dan diterbitkan—dipasang di lemari berkaca harus dalam satu hari, Jum’at, agar besoknya para pembaca bisa menikmati konten terbaru yang dipersembahkan awak redaksi. Sebenarnya bisa saja Geri dan awak redaksi menunda satu hari untuk pemasangan agar ada jeda untuk mengoreksi bahan-bahan mading yang akan diterbitkan, namun karena sikap perfeksionis Geri, ia memaksakan diri untuk langsung menerbitkan hari itu juga. Ia terlalu keras dengan dirinya sendiri, padahal awak redaksi yang lain tidak melakukan hal tersebut.

Daftar isi membutuhkan halaman. Dan karena harus dibuat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,  Geri menyiasati nomor-nomor halaman itu dengan potongan-potongan kecil kertas seukuran setengah ibu jari yang lalu ia tulis dengan nomor. Kemudian potongan kecil itu ia tempel ke lembaran-lembaran kertas yang akan diterbitkan. Meskipun Geri memiliki sedikit waktu, jarang ia bisa menyelesaikannya dengan cepat—bahkan ia tak jarang pula dibantu awak redaksi lain seperti Sanah.

Geri, dibantu Sanah sudah menyelesaikan pemasangan majalah dinding. Masih ada satu lemari berkaca lagi yang perlu ia dan awak redaksi ganti, yaitu yang terletak di kompleks ruangan kelas yang berhadapan langsung dengan Lokal Timur, biasa disebut dengan Lokal Barat. Lokal Barat dan Lokal Timur dipisahkan lapangan paving seluas seratus meter persegi. Membayangkan akan melewati lapangan tanpa peneduh membuat nyali Geri ciut, begitu pula tiga perempuan yang bersamanya. Ia seperti akan melewati sebuah gurun pasir gersang tanpa oase.

Mereka berjalan menyusuri lapangan dengan lemas, berusaha acuh tak acuh dengan matahari yang berusaha mencari perhatian dengan teriknya. Dan ketika mereka berhenti di depan lemari berkaca, mereka hanya memandang dengan rasa malas. Ukuran lemari berkaca di Lokal Barat sedikit lebih besar daripada yang berada di Lokal Timur. Perbedaan yang mencolok adalah bahan pembuatnya, lemari berkaca Lokal Barat terbuat dari batangan alumunium, sedangkan yang berada di Lokal Timur terbentuk dari kayu. Pernah suatu hari lemari berkaca di Lokal Barat pecah, dan perlu sekitar setengah tahun untuk memperbaikinya.

Pada akhirnya keempat remaja ini menyelesaikan tugasnya untuk memasang edisi terbaru mading. Namun Geri merasa ada yang aneh dengan hari itu, nalurinya berkata ada yang tidak beres dengan edisi baru itu. Ia kembali meneliti satu persatu lembaran-lembaran kertas yang dipajang dengan wajah tegang. Lalu akhirnya ia menemukan bahwa daftar isi belum dibuat.

“AKU LUPA MEMBUAT DAFTAR ISI!” Geri berseru. “GIMANA NIH?!”

Ia memandang satu persatu kawan-kawannya mengharap jawaban.

“Yah, udah dipasang. Masak harus dibongkar lagi?” jawab Sanah. “Aku gak mau bantu kalo gitu.”
Sanah lalu memandang lapangan paving yang silau dengan terik cahaya matahari.

“Udah deh, Ger. Untuk edisi ini kita gak pake daftar isi,” tambah Ana yang sedari tadi diam. “Lagian mana ada yang peduli dengan halaman sih?”

Geri diam saja untuk berpikir. Ia juga malas untuk membongkar dan memasangnya kembali. Namun sikap perfeksonisnya tak membuat hatinya tenang.

“Yuk, San. Kita nyari es Oyen,” ajak Ana pada Sanah tanpa memperdulikan Geri yang diam mematung.

Geri menahan marah mendengarnya, namun apa boleh buat, nomor-nomor halaman yang hilang itu takkan membawa semangat membara kembali pada awak-awak redaksi apabila dipasang kembali. Hati remaja lelaki itu membenarkan perkataan Ana, bahwa memang tak ada yang peduli dengan hal kecil seperti itu. Hari-hari perfeksionis seorang Geri mungkin telah berakhir dimakan waktu yang meluncur begitu cepat melahap semangat kerjanya. Namun rasa sayangnya pada mading sekolahnya tetap dalam jiwa, meskipun tradisi telah berhenti dan hancur ditelan masa. Setidaknya Geri sudah berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya pada jaman.***

(Cerpen ini dikurasi dalam Galeri Acara Ulang Tahun THGB ke 31).

Membaca Anak Semua Bangsa

$
0
0

Oleh Mochammad IH

Judul Buku:
Anak Semua Bangsa

Penulis:
Pramoedya Ananta Toer

Penerbit, tahun terbit:
Lentera Dipantara, Agustus 2015

Jumlah halaman:
536 halaman

Anak Semua Bangsa adalah seri kedua dari 4 jilid Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Novel kedua ini melanjutkan kisah hidup Mingke setelah ditinggal sang istri, dan bagaimana dia berusaha mengobati kehilangannya.

Setelah Anak Semua Bangsa, penulis menyadari beberapa hal. Pertama, ternyata quote-quote iconic, kalimat-kalimat terkenal yang sering didaur ulang oleh pembaca sastra khususnya pembaca tetralogi buru, hanya berasal dari seri pertama, yaitu Bumi Manusia. Pada Anak Semua Bangsa, hampir penulis tak menemukan kalimat-kalimat yang sering digunakan oleh pembacanya untuk didaur ulang, meskipun memang terjadi ulangan-ulangan kalimat dari Bumi Manusia sebagai prinsip oleh sang tokoh utama.

Kedua, meskipun Bumi Manusia cukup iconic, namun Anak Semua Bangsa membuktikan bahwa Bumi Manusia belumlah apa-apa. Di novel inilah Mingke berusaha menjawab pertanyaan tentang bangsanya sendiri, darahnya sendiri, dan hal lain-lain yang tak pernah ia pelajari di HBS. Dia bertemu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa dunia ini tidaklah sedang baik-baik saja. Mulai dari bertemu dan akhirnya berteman dengan salah seorang aktivis Angkatan Muda Cina, Khouw Ah Soe yang bercerita tentang kemerdekaan di Fillipina. Kemudian bertemu dengan seorang jurnalis Indo, Ter Haar yang menceritakan banyak hubungan korporasi dan media massa dan sedikit banyak tentang Republik Fillipina yang seumur biji jagung. Lalu tantangan Kommer untuk mengenali bangsanya sendiri dan membawa Mingke bertemu dengan petani Trunodongso.

Seperti Bumi Manusia, dalam Anak Semua Bangsa banyak hal yang masih relevan dengan hari-hari sekarang di negeri ini, padahal latar belakang Tetralogi Buru adalah jaman kolonial yang telah kita tinggalkan satu abad yang lalu. Konflik lahan Agraria, ilusi keadaan, negara yang hanya mendukung kapital, keadilan yang hanya berpihak pada golongan tertentu, praktik kecurangan dan korup aparatur negara, dsb. Apakah usaha para bapak dan ibu bangsa kita saat menggerakkan revolusi sia-sia? Apakah Revolusi Agustus '45 tidak membawa kita kemajuan? Apakah mungkin saat Revolusi Agustus '45 kita maju satu langkah, lalu kemudian kita mundur satu langkah? Buku ini cukup membawa kegelisahan-kegelisahan yang sama seperti angkatan muda jaman pergerakan.***

Ploso Hari Ini: Sebuah Telaah Kecil

$
0
0


Sejak beberapa hari yang lalu, saya tertarik untuk menuliskan bagaimana sektor ekonomi warga Ploso hidup dan berkembang hari ini. Berawal dari peristiwa melewati salah satu kawasan kumuh Rejoagung, ide untuk menulis hal ini berawal dari pertanyaan apakah banyak sekali penduduk Ploso menggantungkan ekonomi mereka pada sektor informal seperti yang biasa dilihat di kawasan-kawasan kumuh? Kemudian hal ini bisa menguji saya yang sudah tinggal selama 5-6 tahun apakah mengenali lingkungannya sendiri? Saya juga terbuka terhadap kritik dan kemungkinan besar akan terjadi oto-kritik dalam tulisan ini.

Ploso adalah sebuah nama kecamatan yang terletak di kawasan utara dan tergabung dalam kabupaten Jombang. Ploso mungkin bisa dibilang jalan penghubung antara Jombang dan Tuban, Bojonegoro, Lamongan, di sisi lain daerah ini juga menghubungkan Jombang dengan Mojokerto. Ada sungai Brantas sebagai tepi perbatasan. Ada pula Pasar yang cukup besar dan menjadi pusat dari daerah ini. Lalu kemudian di dekatnya ada sebuah Pondok Pesantren besar, pusat perkembangan jama'ah Thoriqoh Shiddiqiyyah.

Melihat pasar yang cukup besar dan aktif setiap hari, tidak bisa ditampik bahwa pusat perekonomian Ploso berada di sini. Jadi bisa dibilang sektor ekonomi warga Ploso salah satunya adalah lingkungan pasar. Dimana ada pasar, disitulah pemukiman padat penduduk berada, jadi di sekitar pasar kawasan kumuh berkumpul mengelilingi pasar, barat, utara, timur, selatan dengan membuka sektor informal. Di sebelah selatan pasar tepatnya di kawasan desa Rejoagung-Losari, berejejeran toko-toko yang menjajakan beraneka ragam dagangan, mulai dari bangunan yang permanen, nir-permanen, hingga semi-permanen muncul menghiasi jalan raya menuju pasar Ploso.

Di sebelah timur pasar Ploso, ada sebuah jalan yang menghubungkan pasar dengan sungai Brantas. Daerah ini sering disebut dengan Ploso. Tidak bisa dipukul rata, bahwa mata pencaharian lingkungan yang cukup kumuh ini masuk dalam lingkungan pasar, namun kian hari berjejeran pedagang dengan di kanan-kiri jalan dengan bangunan permanen, nir-permanen maupun semi permanen.

Di sebelah utara pasar Ploso terdapat sektor pendidikan yang cukup besar berdiri, Pondok Pesantren Majma'al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman - Shiddiqiyyah. Di sinilah penulis sedang mengenyam pendidikan, selain sektor pendidikan, kebanyakan warganya bergantung pada pasar di sebelah selatan, sektor informal dan sektor wisata. Sektor informal ditandai dengan terdapat banyak sekali warung-warung dan toko berdiri di kawasan Pondok Pesantren. Sektor wisata juga hidup di kawasan ini, meskipun dalam waktu harian tidak terdapat pengunjung yang signifikan, namun dalam momen-momen perayaan tertentu pengunjung kawasan ini bisa mencapai angka ribuan dalam sehari-semalam.

Penduduk Ploso juga bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian ditandai dengan ditemukannya berhektar-hektar lahan sawah basah, meskipun letaknya berada jauh dalam radius 3-5 kilometer dari Pasar Ploso. Bila musim penghujan, petani Ploso menanam padi, sedang musim kemarau, mereka akan menanam tembakau. Bila dibandingkan secara kasat mata, sektor informal dan sektor pertanian jumlah penduduk Ploso yang menggantungkan hidupnya hampir sama angkanya. Meskipun masih dibutuhkan penelitian empiris yang lebih dalam soal statistik.

Di kawasan Ploso terdapat dua pabrik yang lumayan besar, satu pabrik asal Korea yang memproduksi bahan kimia yang berada di kawasan timur laut Pasar Ploso. Yang kedua, pabrik linting rokok yang berada di utara Pasar Ploso. Kedua pabrik ini memang cukup jauh dari kawasan pusat Ploso. Namun sektor buruh di Ploso berada pada angka yang lumayan besar, meskipun tak sebesar sektor pertanian dan informal. Buruhnya tidak hanya berasal dari Ploso, namun juga berasal dari daerah sekitar Ploso seperti Plandaan.***

Berlibur Di Tanah Lada

$
0
0


Judul Buku:
Di Tanah Lada

Penulis:
Ziggy Zezsyazeovinnazabrizkie

Penerbit, tahun terbit:
Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2015

Jumlah halaman:
244 halaman


Hal yang terlintas di kepala ketika menemukan nama penulisnya adalah membacanya dengan ironi. Jujur, awalnya saya berpikir Ziggy Z.... (okelah saya tak hapal namanya) adalah sebuah nama pena, dan memuji kepercayaan diri penulis untuk mengenalkannya (dengan ironi tentunya). Juga keseriusan panitia Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 untuk memenangkan novel ini sebagai pemenang kedua. Namun begitu saya membaca salah satu resensi, ternyata Ziggy Z adalah nama asli penulis. Saya belum menemukan artinya, namun penulis resensi tersebut menyebut nama itu memiliki arti yang bagus. Jadi tolong maafkan saya dari ironi dan kesinisan terhadap nama. Narasi untuk berusaha bertindak praduga tidak seperti yang kita pikirkan harus dikampanyekan secara aktif sepertinya.

Saya pikir idenya benar-benar segar, menggambarkan dunia anak kecil yang polos. Namun premisnya lebih menarik bagaimana dunia anak kecil yang polos dan tak pernah mengenal ketakutan itu bertemu dengan kerasnya kehidupan dalam alam modernitas, sekuleritas, bahkan kapitalisma. Jadilah sebuah kisah yang tanpa kita sadari menjadi sebuah tragedi.

Sinisme terhadap dunia, sikap skeptis yang ditunjukkan oleh Ava dan P adalah bukti bahwa modernisme telah gagal membahagiakan manusia. Dalam alam modernisme, kita bisa mendarat di bulan, kita bisa terbang dengan pesawat, manusia bisa membangun gedung pencakar langit, bahkan bisa berkomunikasi tanpa dihalang oleh tempat dan waktu. Namun di sisi lain bagai pedang bermata dua, modernisme telah menghilangkan kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh sikap orang-orang dewasa yang berada di sekeliling Ava dan P: Papa, Mama, Kak Suri dan Mas Alri. Kehidupan sekuler perkotaan ditampilkan dalam Rusun Nero, bagaimana rumah hanya sebuah tempat untuk singgah sebentar untuk mandi dan tidur.

Saya tak bisa menilai teknis cerita, toh saya merasa ini novel pertama yang saya baca tentang kehidupan urban dalam dunia perkotaan, jadi belum bisa membandingkan. Namun jika kita berbicara soal modernisme, harusnya bisa digali lebih banyak. Saya belum menemukan kisah kelas buruh bergaji UMR yang ditampilkan dalam novel ini.***

Perdebatan Seni Budaya Tentang Dekat Atau Tidak Dengan Keseharian

$
0
0


Beberapa hari yang lalu penulis membaca sebuah pendapat di salah satu wawancara dengan musisi arus pinggir yang baru saja mengeluarkan single terbarunya. Wawancara itu membawa sebuah narasi bahwasanya gairah terhadap musik arus pinggir (sidestream) yang semakin hari semakin kencang tak lepas dari pengaruh keseharian musisi tersebut yang rata-rata hadir dalam setiap karya-karyanya. Beda sekali dengan musisi arus utama (mainstream) yang rata-rata fulltime yang karya-karyanya kadang jauh sekali keseharian mereka bahkan pendengar mereka.

Musisi non-fulltime kadang bekerja paruh waktu menjadi pekerja, pedagang atau malah menjadi bos perusahaan. Soal keseharian yang dihadirkan musisi non-fulltime ini bisa diterima dan bahkan ramai pujian adalah karena keseharian mereka mirip, sama bahkan persis dengan para pendengar mereka, seolah-olah suara mereka terwakili oleh karya musisi non-fulltime tersebut.

Pendapat tentang keseharian awalnya penulis pikir adalah hal yang menggeneralisir. Dikarenakan tidak semua musisi fulltime tidak menggambarkan keseharian mereka, ada kemungkinan mereka menggambarkan keseharian mereka dalam sebuah karya. Namun bila ditarik ke dalam sejarah, perdebatan musisi fulltime vs non-fulltime ini menggambarkan perdebatan melegenda antara kamerad-kamerad Lekra dengan para punggawa Manifes Kebudayaan pada era paska Revolusi Kemerdekaan '45, bahkan perdebatan kontemporer di kancah musik arus utama yang diawali oleh rasa sinis Jrx dari Superman Is Dead (SID) terhadap para musisi yang tidak terjun dalam dunia aktifisme.

Perdebatan Lekra dan Manifes Kebudayaan terletak pada letak kebudayaan itu sendiri. Lekra bependapat bahwa kebudayaan haruslah ada campur tangan politik dan membawa manusia dan kesehariannya. Manifes Kebudayaan berpendapat bahwa kebudayaan itu haruslah lepas dari politik dan berdiri sendiri sebagai seni yang murni tanpa ada campur sosial di dalamnya. Setelah Lekra dimusnahkan bersama Partai Komunis Indonesia, jelas Manifes Kebudayaan adalah pihak yang menang bersama Orde Baru-nya. Hal ini bisa ditandai dengan seni kontemporer negeri ini yang seringkali dikotak-kotakkan dengan seni kelas berduit dan seni kelas kere. Ya, seringkali kita merasa ada seni yang tak terjangkau dan hanya milik kaum berduit.

Perdebatan Jrx dengan musisi fulltime yang tidak bergerak dengan keadaan sosial secara historis bisa dilacak dari konsistensi SID membuat lirik perlawanan atas ketidak-adilan dalam karya-karyanya. Dalam filsafat materialisme, sesuatu yang dibuat oleh manusia berasal dari kesadarannya akan alam dan kesehariannya yang saling berdialektika. Jadi SID membuat lirik-lirik pemberontak itu berasal dari keseharian mereka sendiri, bukan dibuat-buat. Kemudian background Jrx sendiri yang seorang musisi namun juga aktivis yang 2-3 tahun ini fokus bersuara dalam perlawanan terhadap proyek reklmasi Teluk Benoa. Keseharian Jrx inilah yang tidak dimiliki oleh musisi fulltime yang disebut olehnya.

Tesis dan antitesis ini akan saling berdialektika hingga akhirnya bernegasi. Manifes Kebudayaan menegasi Lekra. Musik arus pinggir menegasi musik arus utama. Namun tesis musisi yang tidak peduli keadaan sosial melawan antitesis wacana Jrx bersama gerakan melawan proyek reklamasi Teluk Benoa masih berlangsung.***

Dekonstruksi Bimbingan

$
0
0



Oleh Mochammad IH

Kadang hidup itu kita jalani dengan penuh rasa optimis. Meskipun kita tak tau apa hasil kerja kita dalam menjalani hidup, namun hal-hal itulah yang membuat kita merasa menjadi manusia sepenuhnya. Seperti itu gambaran perasaan Falah ketika ia diberitahu salah seorang temannya bahwa ia dipanggil menghadap Bu Veti, salah seorang pengurus harian sekolah. Selama berjalan menuju ke kantor, ia bertanya-tanya dalam urusan apakah ia dipanggil menghadap?

Falah menyusuri jalanan beraspal yang menghubungkan kelasnya dengan kantor sekolah. Sementara ia berjalan, awan berusaha menutupi sinar matahari yang menyengat sejak siang hari. Namun bukannya hawa dingin yang Falah rasakan, namun udara panas semakin membuatnya kegerahan.

Kemungkinan akan hujan seperti kemarin, pikir si pemuda. Falah sempat terjebak tak bisa beranjak pulang dari sekolahnya karena hujan yang begitu deras mengguyur hingga maghrib. Seandainya ia bersekolah pada pagi hari, mungkin sore hari ia bisa bergumul dengan selimut bila hujan deras seperti itu, namun sayang Falah bersekolah pada siang hari dan pulang setengah jam sebelum adzan Maghrib berkumandang. Hal yang tidak bisa diganggu gugat, mengingat keterbatasan pihak pengelola sekolah mengatasi jumlah murid yang ada dengan kapasitas gedung yang mereka memiliki. Bahkan, salah seorang gurunya berpendapat bahwa siang hari tidak baik untuk digunakan belajar-mengajar tidak bisa melakukan apa-apa untuk sekedar menyuarakan pembangunan gedung baru yang lebih banyak.

Dan tibalah si pemuda di depan kantor sekolah. Falah segera berjalan di undakan beton bertingkat berkeramik merah bata, sesampainya di undakan terakhir ia mencopot sepatu beserta kaus kakinya. Sebelum masuk, pemuda itu mengecek penampilannya. Seragam kuning-hijaunya yang telah rapi itu ia rapikan lagi, kopyah hitamnya ia copot lalu ia pasang kembali dengan rapi. Sayang tidak ada cermin untuk memastikan wajahnya tidak kusam. Namun keringat tubuhnya karena gerah tak membuat si pemuda nyaman, namun untungnya ia merangkap bajunya dengan kaos oblong sehingga ia mempercayakan bau keringat tubuhnya pada kain katun itu.

Dengan penuh rasa segan, Falah mulai masuk ke kantor untuk menemukan orang yang mencarinya. Ia bertanya beberapa kali pada orang dewasa—kebanyakan gurunya yang berpapasan padanya dimana perempuan yang perlu ia hadapi. Pada akhirnya ia menemukan Bu Veti sedang asyik mengobrol dengan Mbak Silvi, petugas administrasi muda sekolah. Melihat Falah yang sedang berdiri menunggu dirinya, Bu Veti mengajaknya untuk masuk ke kantornya.

Kantor? Falah ragu bila ruangan itu disebut kantor. Sebuah ruangan sempit dengan satu buah meja, ruangan ini berbatasan langsung dengan ruang guru yang hanya dibatasi oleh sebuah lemari besar berisi berkas-berkas sekolah sebagai sekatnya.

Di situlah Falah dan Bu Veti duduk saling berhadapan. Bu Veti membenarkan kerudung kuningnya yang seperti selendang itu, beliau menatap dalam mata Falah sehingga pemuda yang ditatapnya bergidik.

“Kamu pengurus mading sekolah kan, Falah?” tanya Bu Veti.

“Iya, Bu,” jawab Falah singkat.

Tanpa basa-basi, Bu Veti langsung mengungkapkan maksudnya. “Mulai sekarang, tiap mau penerbitan terlebih dahulu kamu kirim ke saya. Biar saya koreksi.”

Falah terdiam sesaat tak percaya, namun cepat-cepat mengiyakan perkataan gurunya itu. Melihat gelagat keraguan muncul dari wajah si pemuda, Bu Veti kemudian menjelaskan bahwa hal ini dipintanya sebagai hal yang perlu dilakukan mengingat pemuda-pemudi seperti Falah dan kawan-kawannya di kepengurusan majalah dinding sekolah perlu dibimbing agar hasil tulisan mereka semakin berkualitas.

“Bayangkan, nak. Masak artikel yang tidak jelas bukti dan kebenarannya kalian masukkan dan dibaca oleh teman-temanmu yang lain? Apalagi tulisan-tulisan yang berbahaya, yang mengandung ajaran fundamentalis, ajakan makar menolak agama. Nah, hal seperti inilah yang kita perlu dibenahi, setidaknya kaidah-kaidah jurnalistik yang baik dan benar sudah terpenuhi. Apalagi kita kan berada di lingkungan Pesantren, jadi usahakan menerbitkan yang ada kaitannya dengan pendidikan di sinilah.

“Tapi jangan dikira kita sebagai lembaga sensor. Bukan begitu, nak. Saya paham demokrasi dan kebebasan berpendapat. Saya inginnya membimbing kalian agar lebih baik lagi.”

Banyak hal yang Falah tak paham benar dengan perkataan gurunya itu. Apa itu ajaran fundamentalis? Makar? Menolak agama? Kaidah-kaidah jurnalistik yang benar seperti apa? Lembaga sensor itu apa? Demokrasi? Kebebasan berpendapat? Apa hubungannya? Begitulah pikirannya berputar-putar sejak Falah berpamitan pada guru pembimbing baru kawan-kawannya itu sampai ia pulang sekolah. Falah tak sempat bertanya karena ia segan, toh baru pertama kali ini ia berhubungan dengan Bu Veti secara langsung. Harusnya ia bertanya.

***

Di depan kelas, tiga orang remaja berkumpul. Satu perempuan dan dua laki-laki. Falah yang terlihat bersama dua orang lainnya mengucapkan sesuatu kepada dua remaja lainnya. Tidak jelas apa yang dikatakannya, namun sesaat kemudian Falah memimpin mereka berdua berjalan menjauhi kelas menuju sebuah gapura.

Gapura itu memiliki tempat yang sering digunakan oleh siswa-siswi untuk duduk-duduk dan berkumpul saat jam istirahat seperti ini. Matahari tak bisa mengganggu mereka untuk bercengkrama saat sore seperti ini karena sinarnya terhalang oleh gapura tersebut. Itulah alasan mereka betah berlama-lama di sini, bahkan ketika bel tanda jam istirahat telah selesai, mereka masih asyik bersantai dan tak bergeming.

Tempat itu lumayan penuh, rata-rata perempuan berseragam sekolah dan berkerudung yang duduk di situ. Ketiga remaja itu memilih tempat yang cukup longgar untuk diisi oleh mereka. Tutus, satu-satunya perempuan di kelompok mereka memulai percakapan. Ia mengeluhkan susahnya mendapat narasumber untuk salah satu rubrik yang akan ditulisnya.

“Mereka itu rata-rata nggak mau diwawancarai,” keluh Tutus seraya merapikan kerudungnya. “Nggak tau kenapa.”

 “Mereka takut kali,” sambar Fian. “Kamu kan orangnya suka gigit.”

Fian dan Falah kompak tertawa, Tutus pun langsung memandang sinis pada Fian. “Gitu ya.”

“Sudah. Sudah,” Falah menengahi mereka. “Aku ada berita untuk kalian berdua.”

Dan pemuda itu pun menjelaskan tentang pertemuannya dengan Bu Veti dan rencana gurunya itu untuk membimbing mereka.”Bu Veti ingin para pengurus mading—kita bisa ditingkatkan lagi kualitasnya dalam ilmu jurnalistik dan kepenulisan.”

“Aku malah jadi ingat Orde Baru, Lah.” Falah dan Tutus menoleh ke arah Fian. “Kamu tau nggak, Departemen Penerangan?”

“Kementerian Penerangan maksudmu, Yan?” tanya Tutus.

“Hmm. Aku tepatnya nggak tahu nama lembaga jaman Orde Baru itu, tapi ada kata Penerangan di dalamnya,” jelas Fian. “Tapi lembaga itu menjadi film horror bagi para penerbitan dan jurnalis. Mulai dari penyensoran, perijinan bahkan pembredelan, semua dilakukan sama lembaga itu.”

Fian pun menceritakan kasus-kasus pembredelan yang terjadi saat rezim Orde Baru setaunya. Ia tak ingin kepengurusan mading sekolah menjadi bulan-bulanan oleh sifat otoriter pengurus sekolah, meskipun dalam lingkup yang kecil.

“Yah, aku sih masih tahap kecurigaan,” ujar Fian lagi. “Aku khawatir kita gak bisa lagi menyuarakan hal-hal yang perlu kita suarakan lewat mading.”

Fian pun mengingatkan kembali pada kejadian beberapa waktu lalu, tulisan yang diunggah olehnya mengkritisi kebijakan peraturan sekolah mengakibatkan polemik yang cukup besar di sekolah. Hal ini menjadi perbincangan yang hangat bahkan hampir memanas antara murid-murid dan pihak sekolah. Dan akhirnya memaksa pihak sekolah membuat sosialisasi tentang peraturan tersebut, agar peolemik yang sedang terjadi tak berlarut-larut dan mengganggu proses belajar-mengajar.

“Tapi Bu Veti tidak ada niatan seperti itu, Yan,” bela Falah. “Yah, meskipun beliau memang termasuk yang paling murka dengan tulisanmu itu.

“Tapi aku percaya beliau seperti editor dalam sebuah penerbitan buku, dimana tugasnya untuk menyempurnakan sebuah buku hasil karya penulis. Jangan dipandang seperti produser musik yang hanya membuat lagu yang bisa diterima pasar. Kita kan dalam lingkup wilayah sekolah, kita bukan pebisnis yang mencari untung.”

“Terserah deh,” ujar Fian mengakhiri perdebatan.

Setelah itu mereka terdiam cukup lama. Fian lalu memandang Tutus. “Menurutmu gimana, Tus?” tanya Fian akhirnya. “Kamu kan orangnya selalu jadi pihak yang netral diantara kita berdua.”

“Iya, kamu juga perempuan sendiri di sini, dimana suara kamu juga harus didengar. Kita kan gak mau melestarikan budaya patriarki di tubuh kepengurusan mading,” sambung Falah.

“Apanya yang gak melestarikan patriarki! Kalian berdua bahkan nggak menyadari kalo aku ada di sini!” protes Tutus. “Dasar patriarkis!”

Mereka bertiga kompak tertawa. “Ya sudah, kita berdua nurut aja deh sama keputusanmu.”

“Setuju, Yan. Jadi putuskan, Tus. Kita ikuti peraturannya Bu Veti atau kita jalan seperti biasanya?”

Perempuan yang ditodong keputusan pun terlihat berpikir. Tutus merasa jika mereka membangkang, maka ada resiko di belakangnya yang ia bayangkan akan mengerikan. Lalu jika ia mengikuti saran Falah, ia takut hal yang ditakutkan oleh Fian menjadi kenyataan, suara-suara mereka tentang ketidak-adilan sekolah akan dibisukan. Kemudian ia pun memutuskan untuk mencari aman dengan mengikuti peraturan baru yang diterapkan oleh salah satu gurunya itu.

Bel berakhirnya jam istirahat memekik telinga para muda-mudi berseragam. Ada yang lekas bergegas menuju kelas, tak sedikit pula yang bertahan di tempatnya berpijak mengharap keajaiban seperti rapat guru yang mendadak dan mereka diperbolehkan pulang cepat. Namun langit sore bersama awan Kumulonimbus sedikit demi sedikit memenuhi angkasa membawa kegerahan yang semakin banyak, tanda akan datangnya hujan.***

Post-Script:
Sebagian besar nama-nama di tokoh ini adalah teman-teman penulis yang meninggal di usia yang cukup belia. Rest in peace:
Miftahul Falah
Fety Nuryana Sari
Asyirotuz Zumaroh
Chanifian Tauhidi

Meracau: Tentang Unit Hardcore-Punk Baru yang Menjanjikan

$
0
0

Oleh Mochammad IH | @aliasjojoz

Ketika penulis diminta untuk me-review sebuah single pertama dari sebuah unit hardcore-punk baru dari Jombang, penulis sedikit segan, mengingat koleksi penulis untuk musik hardcore-punk sangat terbatas. Kemudian posisi penulis yang tidak terlalu mengikuti skena musik arus bawah tanah Jombang dikarenakan kesibukan.  Lagipula penulis tidak menemukan hal yang baru dalam skena Jombang dalam hal tendensi dan keberpihakan politik mereka, sesuatu yang penulis tunggu-tunggu sejak gelombang Gerakan Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali. Namun penulis ingin tulisan ini menjadi sebuah usaha yang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Berikut single pertama Meracau yang diunggah ke akun soundcloud mereka:



Ketika mendengar pertama kali, sound gitar yang dipakai oleh mereka cukup retro. Hal ini memaksa penulis mendengar koleksi unit-unit punk lawas dan menemukan beberapa track Warzone yang cukup membawa pengaruh namun minus solo gitar. Ketika membuka koleksi musik punk kontemporer, penulis mendapati ada Vomit Crew dan The Kuda dalam Sebotol Whiskey, musik yang digeber cepat dan bertenaga tanpa tedeng aling-aling.



Di departemen lirik, suara mahasiswa perantauan indekos yang masih bergantung pada kiriman orang tua cukup kentara. Penulis merasakan apa yang ditulis Meracau adalah kejujuran atas kehidupan mereka. Hal ini cukup sering ditemui pada musisi arus pinggir lain, tentang suara-suara yang mereka rasakan sendiri secara subyektif, yang malah terkesan obyektif karena beberapa kelompok masyarakat juga merasakan perasaan dan penderitaan yang sama. Fenomena ini pernah penulis tuliskan dalam halaman yang lain di blog ini.

Penulis jadi mengingat Widji Thukul. Penyair ini menyuarakan kehidupan sehari-harinya dalam puisi-puisinya, suaranya dirasakan oleh orang-orang yang sehari-harinya bernasib sama dengan Widji Thukul, kaum miskin kota dan pekerja sektor informal yang dipinggirkan atas nama "pembangunan" Orde Baru. Sedang Meracau menyuarakan keadaan sehari-harinya yang diamini oleh kelompok-kelompok mahasiswa perantauan.






Wajah-wajah punggawa Meracau adalah para pemuda yang cukup aktif berseliweran di skena Jombang. Saking aktifnya, hampir tiap gig arus bawah tanah di Jombang unit-unit mereka selain Meracau menjadi langganan line up utama skena Jombang. Ya, Meracau bukan band pertama yang mereka bangun. Ketika penulis mendapati teaser proyek Meracau dibagikan di media sosial, penulis berpikir musik apalagi yang akan dihadirkan oleh anak-anak ini? Mungkin terkesan hobi membangun unit-unit musik yang baru dan terkesan meninggalkan unit lawas, namun penulis pikir inilah cara otentik mereka untuk membangun skena Jombang--yang seringkali dipandang kota yang tidak istimewa-istimewa amat, apalagi dalam dunia perkancahan musik arus pinggir. Penulis menghormati usaha-usaha mereka yang aktif membagikan hal-hal segar di skena. Viva la scena!

Kabar terbaru yang mereka bagikan kepada penulis, Meracau berencana akan mengemas Sebotol Whiskey dan 6 lainnya dalam bentuk CD, semangat Do It Yourself mereka tonjolkan. Sepertinya ini serius dan menjanjikan. Tabik.***

Konsolidasi

$
0
0



Oleh Mochammad IH

Pada jam istirahat sekolah, cuaca sedang sejuk-sejuknya. Angin berhembus sepoi-sepoi menyegarkan tubuh-tubuh. Empat orang gadis berkerudung putih duduk santai dan bergosip di teras kelas. Tepat di depan mereka sebuah area permainan bola voli lengkap dengan dua tiang untuk memasang net beserta garis pembatasnya. Namun tak ada anak-anak yang cukup berani bermain bola voli pada jam istirahat seperti ini, karena melanggar aturan sekolah. Tetapi sepertinya alasan sebenenarnya adalah mereka malas mengambil bola voli di kantor guru.

Nurma, Rahma, Indra dan Eliya sedang menikmati siomay berbungkus plastik di tangan masing-masing. Bapak-bapak penjual siomay terlihat di dekat mereka lengkap dengan alat produksinya—dua kotak berwarna warni yang ditaruh di bagian belakang sepeda kayuh tua. Para membeli berkerumun di sekitar si Bapak, rata-rata para gadis berseragam putih-abu-abu dan berkerudung putih.

Nurma memperhatikan Bapak itu melayani dengan sabar para calon pembeli dagangannya. Ketika seorang gadis datang berniat untuk membeli, ia langsung membuka tutup salah satu kotak dan tiba-tiba muncul uap putih berhembus dari dalam kotak itu membawa aroma kaldu ayam. Dengan sigap si Bapak mengambil plastik pembungkus dan mengambil beberapa bola-bola kecil berwarna abu-abu gelap berbagai ukuran. Ia lalu membuka penutup botol saus pecel berwarna coklat dan menuangkannya ke dalam plastik itu. Salah satu gadis kemudian berseru untuk menghentikan usaha si Bapak untuk menuangkan saus lainnya yang berwarna merah.

Lalu Nurma berpikir pendapatan Bapak penjual siomay itu dalam sehari. Hal ini dibagikan kepada teman-temannya. “Pendapatan bapak itu berapa ya sehari?”

Eliya yang kemudian menanggapi, “Kenapa? Kamu mau jualan siomay juga?”

“Iya, kayaknya siomay begitu diminati ya” jawab Nurma

“Nalarmu dalam memandang kebutuhan pasar bagus juga, Nur. Matamu jadi berlogo rupiah gitu” sindir Eliya. “Lalu usaha gorengan kita gimana?”

“Ya, tetap diterusin, El”

“Heh, dua gadis ini pada ngegosip aja!” protes Eliya pada dua temannya yang lain, Indra dan Rahma. “Denger nih. Nurma pengen bikin usaha baru buat kita”

“Terus usaha gorengan kita gimana?” kali ini Indra dan Rahma bertanya berbarengan.

“Tetap kita terusin” jawab Nurma dan Eliya berbarengan pula.

Mereka berempat lalu keheranan karena bertanya dan menjawab dengan berbarengan, lalu tertawa bersama-sama.

“Kita harus punya sepeda kayuh dan tempatnya. Kayak si Bapak” ujar Rahma.

“Nanti aku bagian yang bikin jualan, Eliya bagian keliling pake sepeda kring-kring” tambah Indra.

“Enak aja!” protes Eliya tak terima. Lalu dua temannya tertawa melihat tanggapan Eliya.

“Kita gak usah pakai itu” jawab Nurma. “Kita titipin aja ke warung-warung, seperti gorengan yang kita bikin selama ini.”

“Boleh juga” kata Rahma. Ketiga temannya juga tampak menyetujui usul itu dan mereka  mulai mencari cara membuat siomay. Indra yang berinisiatif mencarinya di mesin pencari internet.

“Eh! Tadi aku diceritain Dinda kalau Sari minta anggaran lagi buat mading!” ujar Rahma tiba-tiba.

Ketiga temannya yang mendengarnya tampak terkejut tak percaya. Tak terkecuali Nurma yang tampak kalem dari tadi juga ikut terkejut. Indra juga menghentikan usahanya mencari tutorial membuat siomay dari layar ponsel pintarnya. Eliya yang paling tak bisa menahan ekspresi terkejutnya. “Serius, Ma?!”

“Iya, serius” jawab Rahma. “Tapi dia nggak diberi uang sama Dinda.”

“Iya tuh. Diberi uang terus tapi hasil kerjanya nggak ada sama sekali” keluh Indra. “Madingnya tetap saja kosong melompong seperti kepompong.”

Ketiga temannya yang lain berkerut dahinya mendengar kalimat terakhir Indra, namun hanya Rahma yang menanggapi. “Kepompong ada isinya, kali.”

“Kira-kira kenapa ya, akhir-akhir ini madingnya nggak diisi-isi sama anak mading?” kali ini Nurma bertanya.

“Anak-anaknya pemalas pasti” tuduh Eliya tanpa basa-basi.

“Hush. Jangan ngawur gitu dong, El” protes Rahma. “Dinda juga tanya ke Sari, ‘kenapa madingnya nggak diisi?’ Dia cuma jawab kalo anak-anak mading lagi pada sibuk semua. Susah banget buat dikumpulin.”

“Ya ampun. Kalau gitu ceritanya, mendingan aku aja yang ngisi madingnya” protes Eliya.

Nurma lalu memandang ke arah Eliya. “Ide bagus! Lebih baik kita aja yang ngisi madingnya. Gimana teman-teman?” tawar Nurma.

“Aku setuju!” jawab Eliya dengan lantang.

“Aku sih setuju, Nur. Tapi apa kita nggak lancang seperti kacang?” tanya Indra.

“Maksudnya?” tanya Eliya.

“Maksudnya kita kan bukan anak mading. Kan nggak enak sama yang lain, kalau kita ikut campur masalah mading” jawab Indra. “Bukan begitu teman-teman?”

“Mungkin kita bisa minta ijin ke Sari dulu” sahut Rahma.

“Ide bagus!” jawab ketiga temannya berbarengan.

Lalu bel tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma kemudian memutuskan melanjutkan pembahasan ini ke dalam kelas. Langit bertambah gelap karena awan hitam menutupinya. Angin pun saling menderu tak tentu arah dengan derasnya. Mungkin hujan akan datang, atau mungkin cuma gerimis saja yang datang.

***

Sebulan telah berlalu sejak empat gadis itu berkonsolidasi untuk mengisi majalah dinding sekolahnya. Nurma, Eliya, Indra dan Rahma masih duduk di tempat yang sama pada jam istirahat sekolah. Sepertinya itu memang titik favorit mereka di sekolah pesantren ini. Karena hari ini hari Selasa, maka kerudung yang mereka pakai berwarna kuning dengan seragam kuning-hijau.

“Kemarin aku lihat madingnya kosong lagi” ujar Nurma mencari perhatian ketiga temannya.

“Yang benar, Nur?” tanya balik Eliya. “Anak-anak mading memang pemalas.”

“Hush. Jangan bilang gitu lagi dong, El” sergah Rahma.

“Maksudku sebenarnya kita yang meneruskan penerbitan mading” ujar Nurma. “Tapi ternyata sulit juga membagi waktu.”

“Iya, waktu seperti batu” sahut Indra.

“Mau bagaimana lagi, Nur. Kita juga dalam masa ujian akhir sekarang” hibur Eliya.

“Ditambah kemungkinan kita juga bakalan jadi panitia lomba setelah ujian berakhir” tambah Rahma. “Pasti bakalan sibuk dan kita nggak sempat mengisi mading lagi.”

Mereka berempat mengiyakan tentang kesibukan yang telah menghadang mereka. Lalu Nurma mengingat alasan para pengurus majalah dinding yang diucapkan oleh Sari yang sebulan lalu diceritakan Dinda ke Rahma. Nurma pun merasa alasan itu bukanlah alasan pembelaan diri semata, namun ia nyata dan menghinggapi hampir seluruh siswa-siswi di sekolah ini. Ia pun berpikir seandainya tidak ada ujian dan lomba-lomba membuatnya sibuk, apakah ia dan kawan-kawan bisa membantu meneruskan penerbitan majalah dinding dengan lebih leluasa? Apalagi sekolah juga mengadakan kursus-kursus di luar jam sekolah yang sangat menyita waktu. Ia tak tahu jawabannya dan ia pula tahu rumput liar yang bergoyang diitiup angin di depannya juga tak mampu memberi jawaban.***
Viewing all 192 articles
Browse latest View live